Jumat, 09 Desember 2011

selicin lendir sidat


Cerita ini jauh sebelum saya memulai warkop dan lele sangkuriang. Kalo gak salah di pertengahan 2010 saya dengan ulin ingin mencari uang, hanya untuk bersenang-senang. Sore itu adem banget di  Kudus. Ane ama si Ulin mentok gak dapet inspirasi. Beruntung ada distributor majalah di pinggir jalan, kami mampir.
Setelah dipilih-pilih kami membeli 2 koran tipis, entah apa merek nya ane lupa. Tapi pokoknya bentuknya kaya koran lampu merah. Kita tertarik karna ada liputan tentang tanaman-tanaman hias. Adenium trivium ato apalah. Ane kurang ngerti, sebenrnya yang tertarik si Ulin. Tapi kita punya satu alasan kuat kenapa milih koran yang itu. Karna ada gambar binatang aneh. Sidat.
Sebelumnya kami telah berencana untuk maen ke bandung. Kerumah ane. Sekitar 3-4 hari ulin dirumah ane. Ditengah-tengah liburan singkat itu abil, teman kami juga dari lasem datang, ikut bergabung. Di sela-sela liburan kita tetap mencari informasi tentang sidat. Seperti biasanya, mulai dari A sampai Z. dari blog ke blog. Artikel demi artikel. 2 buku kami lahap bersama-sama. Join grup sidat mania, dan sidat-sidat lainnya di facebook. Kalo sedang semangat begini kami biasanya ngobrol agak ngelantur.
Gak tau kenapa obrolan-obrolan kami saat ngelantur gini kok malah yang paling saya ingat. Ulin bilang kalo omset kita bakal ratusan juta. Kemudian akan di panggil menjadi bintang tamu di kick andy. Oh, sebelumnya akan ada jejak sigundul dan liputan-liputan kecil dari TV-TV swasta yang bakal dateng ke kolam kami.
Waktu liburan selesai. Oh iya, abil akhirnya ikut gabung dalam ‘proyek’ ini. Dan kami menamai diri kami TRIFATA UNAGI. Ahh.. filosofinya terlalu panjang untuk saya ceritakan. Tapi sebenernya artiny itu sederhana. Percayalah. Abil ke jakarta untuk meneruskan studinya. Sementara ane dan ulin siap mengunjungi beberapa kota untuk belajar tentang sidat dan mencari benih tentunya. Kota yang akan kita kunjungi adalah  cilacap, jogja, solo, dan surabaya.
Entah apa yang merasuki kami, semangat kita luar biasa pisun. Kalo di inget-inget lagi perjalanan kita gak gampang, tapi tetep aja dijabanin. Kita mulai dari cileunyi, naik bis ekonomi sampai cilacap. Setelah melakukan tawar menawar sama kenek bis, kami akhirnya ke cilacap dengan 40 ribu. Dan tiba di cilacap malam hari. Ulin langsung menghubungi teman lamanya. Kita nginep di rumah temannya si ulin. Kita ngobrol-ngobrol masalah misi kita.
“Kalo daerah anu dmn ya?”
“wah, itu sih di nusakambangan”
“jadi harus nyebrang pulau?”
“iya”
“*^(*$^%*#@)(&”
Beruntung si temennya ulin ini punya tiga ekor sidat di rumahnya. Dikasih orang katanya. Setidaknya kami udah bertemu makhluk ini. Haha

percayalah, dia sangat licin

Kami lanjutkan perjalanan kami ke jogja. Desa brebah. Itu lho.. yang beberapa waktu lalu rame gara-gara crop circle. Oh iya sebelumnya kami singgah dulu di rumah ulin untuk beristirahat. Sekalian melihat lokasi kolam-kolam milik ulin yang bakalnya kita buat tempat sidat. Dua hari kemudian kita berangkat ke jogja, melanjutkan pencarian. Kita pake motor. Entah berapa orang yang telah kita tanya. Akhirnya kita sampai juga. Kita gak ketemu sama si pak anu yang memposting ikan sidatnya di inet, kita Cuma ketemu istrinya.
“mbah, ndaleme pak anu pundi nggeh?”
“ohh iku lho dek sbelah kono, lha iki bojo ne” sambil menunjuk wanita paruh baya yang kebetulan lewat pake motor astrea 800. Kita mulai ragu.
“bu, pak anu enten?
“bonten enten eee, tindakan, enten nopo?”
“bade tangklet-tangklet maslah sidat, niku sampean gadah kolam katah?”
“ohh, nemba damel niku”
Hening.
Boro-boro ahli sidat, kolamnya aja dia baru buat. Kita tidur dikosan sodara ulin. Besonya kita berkunjung ke solo. Melanjutkan pencarian. Muter-muter entah berapa kilo. Alhamdulillah ketemu.
“pak, kita tertarik sama sidat”
“oh iya, jadi gimana, blah..blah..blah..”
Kita agak kecewa karna dirumahnya Cuma ada sedikit kolam dan beberapa sidat. Dan menyebutkan bahwa dia punya tambak yang lebih besar di klaten ato dimana gitu, saya lupa.
Energi kita habis waktu itu. Niat melanjutkan ke Surabaya pun kami urungkan. Okelah, kami merasa cukup. Pulang ke rumah Ulin dan mulai merencanakan kolam mana yang akan kami pakai untuk pembesaran ikan sidat itu.
Ada satu kolam yang memiliki tiga sekat. Dan akhirnya memikat kami. Besoknya kami langsung membersihkan kolam tersebut di bantu dua abdi ndalem nya Ulin. Entah berapa batu besar yang kami keluarkan, juga berkubik-kubik balok kayu paten kami pindahkan “wah, satu trek juga ada nih” kata Ubed, abdi ndalem nya Ulin. Kami mulai dari pagi dan berakhir disiang hari. Masih tersisa dua sekat yang belum tuntas memang, akan kita teruskan esok. Setelah bersih-bersih diri, kita kembali larut dalam pembicaraan sidat, omset puluhan juta, kick andy, jejak sigundul, hingga cerita si Ubed yang pernah nikah hanya dua minggu.

kayu itu kayu mahoni yang telah di rendem selama bertahun-tahun, kawan..

oh yeah!

Pagi itu Ulin bangun lebih pagi. menyulut rokok lalu bejalan santai menuju kolam yang kemarin kita bersihkan. Gayanya khas. Saya Cuma memandangi tingkahnya di ambang pintu sambil menghisap rokok. Lalu pergi kedalam. Menikmati rokok dan kopi dengan lebih khidmat. Bebrapa menit kemudian Ulin kembali ke dalam dengan raut wajah yang aneh. Bersungut-sungut. Dan beberapa sumpah serapah tentunya. Kutanya kenapa. Tak dapat restu orang tua katanya.
“aku di celuk ibu ku, trus ditakoni lapo iku kolam mbok kono no nang? Kangge ndamel kolam bu. Kolam opo? Kolam sidat. Ora ntuk. Balekno meneh” dan seterusnya. Saya lunglai, Ulin emosi. Lalu mengajak segera pergi. Ke Kudus. Kami pergi berusaha menghibur diri. Entah apa yang saya dan Ulin bersama teman-teman lakukan setelah itu. Lupa.
Kita hanya terbahak jika ingat kejadian itu sekarang. Banyak hal yang lucu dalam persepsi kami. Impian masuk kick andy misalnya. Hahaha
Apa yang kami dapat? Banyak kawan! Salah satunya informasi tentang kayu jabon yang sekarang ayah saya –juga saya tentunya- jalani. Ada sekitar 3-4 hektar. Jabon dan segala tektek bengeknya kita dapat ditengah-tengah pencarian sidat. Untuk kesekian kalinya, kita tak pernah tau.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar